Ada yang masih ingat janji Abraham Samad untuk memanggil Megawati sehabis lebaran 2014 terkait kasus kebijakan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI, atau yang dulu lebih dikenal sebagai kebijakan "Release and Discharge"?
Terkait penyelidikan kasus SKL BLBI ini, tak tanggung-tanggung KPK pada waktu itu bahkan telah memanggil mantan Menteri BUMN, Laksamana Sukardi; mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli; mantan Menko Perekonomian, Kwik Kian Gie, dan Mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. KPK menduga ada masalah hukum dan dugaan korupsi dalam proses pemberian SKL kepada sejumlah obligor tersebut.
Release and Discharge (R&D) merupakan kebijakan pemerintah Megawati kepada para obligor hitam BLBI untuk mengembalikan cicilan kerugian negara dengan potongan antara 16-36 persen, yang diatur dalam MSAA (Master of Acquisition and Agreement), sebuah perjanjian penyelesaian utang di luar pengadilan (settlement out of court).
Kebijakan itu memang kontroversial, sehingga mendapatkan tentangan dari banyak pihak, termasuk dari anggota kabinet Mega sendiri, yakni Kwik Kian Gie. Kwik bahkan sampai harus menyewa konsultan hukum sendiri untuk menguji kebijakan tersebut. Dan kesimpulannya memang bermasalah. Dalam sistem hukum kita, perjanjian perdata memang tidak bisa meniadakan pelanggaran pidana yang diatur oleh UU. Jadi, kebijakan R&D bisa dianggap melanggar hukum.
Sesuai dengan UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 4, ditegaskan bahwa "Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3. Begitu juga dengan TAP MPR-RI No.X/2001 huruf C tentang Ekonomi dan Keuangan, yang menugaskan Pemerintah untuk melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku yang terbukti secara hukum terlibat dalam penyimpangan BLBI.
Sebagian kita mungkin belum lupa mengenai usaha saling lempar tanggung jawab yang pernah terjadi antara Menko Perekonomian Rizal Ramli dan Jaksa Agung Marzuki Darusman pada medio tahun 2000, artinya pada masa Kabinet Gus Dur, terkait wewenang mengenai R&D terhadap penanda tangan MSAA tersebut. Keduanya saling lempar tanggung jawab karena mengetahui “bahaya” dan “cacat” dari kebijakan tersebut. Potensi kerugian negara yang sangat besar membuat Presiden dan kabinet waktu itu hanya berani memutuskan, tapi tidak berani bertanggung jawab. Dan nyatanya, kebijakan itu kemudian memang baru diselesaikan pada masa kepresidenan Megawati.
Terkait dengan penyelidikan KPK atas kasus SKL BLBI, kita tahu kemudian apa yang terjadi pada Abraham Samad. Dengan iming-iming akan dijadikan Wakil Presiden oleh sebuah partai dua tahun silam, ia kemudian mengendur. Ia merusak reputasinya sebagai pimpinan KPK dengan ikut bermain politik pada Pilpres 2014 lalu. Dua lebaran sudah lewat, dan janji panggilan itupun tak pernah dipenuhi KPK.
Cerita mengenai skandal BLBI dan SKL tadi merupakan latar belakang minimal untuk memahami duduk perkara soal RUU Tax Amnesty dan rencana revisi atas UU KPK yang pernah bikin heboh tempo hari. Dua RUU itu merupakan muara dari dua kepentingan besar, yaitu kepentingan para obligor hitam BLBI dan para pengambil kebijakan SKL yang butuh untuk membersihkan dirinya. Dan tahun 2016 adalah momen krusial bagi kedua kepentingan ini.
Sesuai Pasal 78 KUHP, untuk tindak pidana dengan tuntutan mati atau seumur hidup, batas kadaluarsanya adalah 18 tahun. Dan kasus penuntutan BLBI akan kadaluarsa pada tahun ini. Di atas kertas, ini sebenarnya sangat menguntungkan kedua kepentingan tadi. Namun, masalahnya kejaksaan bisa saja menerbitkan surat perintah penyidikan baru, sehingga penuntutan kasus BLBI bisa terus hidup. Persis di sinilah RUU Tax Amnesty akan memberikan jalan keluar bagi dua kepentingan tadi. Bagi kedua kepentingan tadi, RUU Tax Amnesty jauh lebih memberikan jaminan daripada ngotot merevisi UU KPK.
Hari Senin, 25 April 2016 kemarin, Presiden Jokowi sudah memutuskan bahwa para koruptor bisa menggunakan fasilitas Tax Amnesty. Perlu diketahui, sebelumnya, kasus korupsi, human traficking, narkoba, dan terorisme, dikecualikan dari fasilitas Tax Amnesty. Perubahan itu sebenarnya bukan hal yang aneh.
Latar belakang kemunculan gagasan Tax Amnesty sejak awal memang patut dicurigai bukan untuk menambah pendapatan negara, sebagaimana yang sering dikoarkan, melainkan untuk “memutihkan” pelanggaran hukum dan kejahatan ekonomi yang pernah terjadi di masa lalu.
Coba perhatikan, hingga kini pemerintah tidak pernah mengemukakan target berapa angka yang akan diperoleh jika Tax Amnesty diberlakukan. Kalaupun ada angka yang pernah disounding oleh Kementerian Keuangan dari adanya Tax Amnesty, angka yang disebut tidak sampai Rp100 triliun. Angka yang sangat kecil, karena dalam RUU Tax Amnesty pemerintah memang terkesan main-main dengan besaran penalti yang ditetapkan. Para pengemplang pajak dan konglomerat hitam yang menyembunyikan hartanya di luar negeri hanya akan dikenai tebusan antara 2% hingga 6% saja.
Lalu apakah pajak yang terdiskon itu benar-benar menguntungkan?
Pada Februari 2014, anggota G-20 dan OECD sebenarnya telah menyetujui Common Reporting Standard (CRS) sebagai instrumen pertukaran informasi perbankan secara otomatis. Terdapat 56 negara berkomitmen untuk melaksanakan pertukaran informasi itu pada 2017, dan 40 negara lainnya, termasuk Indonesia, pada 2018. Informasi yang dipertukarkan ini sebenarnya merupakan instrumen efektif bagi pemerintah untuk mengejar kewajiban pajak warganya yang menyembunyikan hartanya di luar negeri.
Indonesia bisa menarik potensi pendapatan sepuluh kali lipat dari potensi pendapatan yang akan diperoleh Tax Amnesty jika mau menunggu implementasi AEOI/CRS yang akan efektif diimplementasikan pada 2018, meskipun pendapatannya baru bisa dinikmati 2019.
Dengan demikian Tax Amnesty yang penuh diskon itu bisa dicurigai sebagai bentuk fait accompli atas usaha penegakan hukum yang mengikuti perjanjian AEOI/CRS tadi, karena lebih menguntungkan para pengemplang pajak.
Dalam perspektif CRS ini berarti alih-alih meningkatkan penerimaan negara, tax amnesty sebenarnya malah telah mengurangi potensi penerimaan negara. Gembar-gembor soal potensi pendapatan itu hanya pengalih-perhatian saja.
Kita tahu, baik RUU Tax Amnesty maupun revisi UU KPK sama-sama merupakan inisiatif pemerintah. Tapi, sebagaimana berkali-kali telah saya sebut di dinding ini, dengan lobi dan sokongan partai pendukung pemerintah, kedua RUU itu kemudian dilempar seolah merupakan hak inisiatif DPR, agar kredibilitas lembaga pengawas itu terus merosot di mata rakyat, dan pada akhirnya setiap suara yang berusaha untuk melakukan fungsi pengawasan dan kontrol jadi akan terdengar seperti ujaran kebencian.
Oya, ada yang masih ingat salah satu pimpinan KPK saat ini pernah mengatakan bahwa KPK tidak akan lagi mengusut kasus BLBI? Apakah Jaksa Agung yang sekarang menurut Anda akan mengeluarkan Sprindik baru atas kasus BLBI, supaya kasus tersebut tidak kadaluarsa?
Destinasi semua isu ini sepertinya sudah bisa ditebak.
penulis : Tarli Nugroho
0 Response to "WOW........ Koruptor dapat Mengunakan Fasilitas Tax Amnesty ??"
Posting Komentar