Dulu saya sempat kepincut dengan fikih, ilmu yang juga membuat banyak ulama kepincut. Lihat saja khazanah ilmu ini di semua zaman dan tempat. Fuqaha-u al-amshaar adalah istilah yang sangat familiar dalam dunia ilmu, dan itu hanya khusus bagi mereka saja, para ulama yang ijtihad dan fatwanya diperhitungkan dalam dunia fikih
Adapun para ulama tafsir dan hadits, meski mendapat pengakuan kepakaran dalam ilmu fikih, toh tak ada istilah mufassirul-amshaar atau muhadditsul-amshaar. Tetaplah ilmu fikih yang lebih membuat mereka populer. Dan termasuk salah satu sebabnya adalah kekayaan mazhab yang seakan hanya dikenal dalam dunia fikih. Hampir tak pernah terdengar ada istilah mazhab tafsir dan mazhab hadits, meski seorang mufassir bisa jadi bermazhab seperti halnya al-Hafidz Ibnu Katsir yang bermazhab Syafi’i, atau malah Imam Bukhari yang diakui beberapa ulama memiliki mazhab sendiri dalam fikih sebagaimana halnya Imam Malik dan Imam Ahmad, tetapi justru beliau kurang begitu dikenal sebagai ahli fikih dan ijtihad dikarenakan terlalu moncernya keimaman beliau di bidang hadits. Meski ada juga yang mengatakan bahwa Imam Bukhari bermazhab Syafi’i karena mengambil pendapat gurunya, Al Humaidy Al Qurasyi As Syafi’i.
Di antara cerita keterpincutan saya pada fikih adalah menghafal dan merapal dulu tema yang mau diajarkan di kelas dari kitab sakti mandraguna “Bidayatul Mujtahid” karya Imam Ibnu Rusyd. Saya merasa bahwa kitab beliau ini bisa membuat siapa pun terkesan keren bila mengajar fikih. Apa sebabnya?
Ya, sebabnya adalah kepiawaian Imam Ibnu Rusyd dalam mengkompres masalah fikih yang diperselisihkan para ulama mazhab hingga mudah dihafal. Maklumlah, konon beliau mengkompres permasalahan fikih dikarenakan beliau seorang hakim yang pengen punya catatan ringkas tentang ilmu fikih. Maka tepat sekali bila beliau menamakan kitabnya “Bidayatul Mujtahid” alias permulaan menjadi seorang ahli ijtihad. Di antara yang membuat seseorang bisa disangka ahli fikih karena “karomah” kitab beliau adalah saat mampu menyampaikan persis apa yang ditulis oleh beliau.
Empat mazhab bahkan lima yaitu mazhab Dhahiri beliau ringkas dalam satu kitab ukuran sedang. Contohlah misalnya saat seseorang menjelaskan suatu masalah yang terjadi khilaf antar ulama lalu ia menyebutkan rincian siapa saja ulama yang berbeda pendapat, dan kadang pula ada dua pendapat atau lebih yang disandarkan kepada satu ulama, selanjutnya menyebutkan masing-masing dalil yang dipakai, atau boleh jadi memakai dalil yang sama tapi cara istidlalnya yang berbeda, setelahnya menerangkan cara mentarjih pendapat, dan tak kalah kerennya saat bisa memberikan sedikit ilmu tingkat tinggi lain yang terdapat dalam kitab tersebut yaitu “sababul khilaf” alias penyebab perbedaan ulama, pasti orang-orang yang mendengarkan penjelasannya seketika mengira bahwa sang ustadz sangat ahli dan layak dapat bintang. Karena itulah saya dulu menjadikan kitab beliau sebagai kitab keramat buat mengajar fikih.
Berikutnya saya merasa bahwa mengajar ilmu fikih harus ditingkatkan kekerenannya, artinya saya merasa kurang keren kalau cuma mengajarkan yang singkat-singkat, maka amunisi pun harus ditambah. Modal ringkasan sudah ada tinggal pengayaan. Maka saya pun jatuh hati pada kitabnya Syaikh Wahbah Az Zuhaily “Al Fiqhul Islami wa Adillatuh”. Kitab ini sangat berat dari segi apa pun. Pertama, ia berat nggotongnya karena berjumlah 11 jilid. Kedua, berat harganya, itu sudah pasti, tapi alhamdulillah bisa nitip dibelikan sama Bapak saya yang pergi haji. Ketiga, berat isinya karena Syaikh Wahbah itu ilmunya ibarat air terjun yang nggak mungkin dibendung. Semua ringkasan yang ada dalam “Bidayatul Mujtahid” di tangan beliau berubah jadi air bah, makanya jika dikuasai kerennya bertambah.
Meski sebenarnya kitab beliau bukanlah syarah dari kitab “Bidayah”, lebih tepatnya adalah rangkuman ilmu fikih dari semua mazhab, bukan sekadar ringkasan seperti halnya “Bidayah”. Sayangnya kitab “Al Fiqhul Islami” kurang layak dibawa-bawa ke majlis ilmu, bukan karena apa, tapi ia adalah kitab rujukan yang harus ditelaah di rumah, dan bukan dibaca di hadapan jamaah. Kasian mereka bisa puyeng kliyeng-kliyeng.
Tapi kalau buat pencitraan, penjaiman, dan kewibawaan saat mengustadz ya bagus juga ditampilin di meja kajian karena saya juga ikut mazhab yang berpendapat bahwa mengustadz sambil bawa laptop atau gadget itu kurang sedap dirasa, ibarat indomi rasa rendang, menado alias menang nampang doang, daging tak ada, adanya penyedap rasa. Malah dulu ada cerita saat di sebuah masjid ada kegiatan, tiba-tiba ustadz yang dijanjikan tak kunjung tiba. Maka terpaksalah panitia dengan segala kediktatorannya menunjuk seseorang yang juga diperustadz. Karena penunjukan yang tiba-tiba sedang amunisi kitab tak bawa, serta merta ia menampil kewibawaan yang sebenarnya adalah keterpaksaan dengan menyiapkan 3 amunisi; berat, sedang dan ringan. Beliau bawa semuanya naik ke mimbar dan segera diakifkan. Maka tampillah beliau dengan 3 amunisi; netbook, tablet, dan smartphone. Wow….kerrreeeeeennn. Walhasil, saat ceramah justru ia sibuk mengoper bola mata ke netbook, kadang ke tablet, dan berakhir di smartphone. Sedang jamaah, mereka mendapat hiburan menyaksikan pergerakan bola mata hasil perpaduan total football, tiki taka, dan Joga Bonito.
Tapi mendalami ilmu fikih lama-kelamaan berat juga. Berat segala-gala; fisik, waktu, dan yang paling berat adalah dana. Hitung saja semua kitab-kitab fikih semua mazhab di dunia ini bila ingin dimiliki, pasti akan ketemu ayat yang artinya, “Dan jika kau hitung nikmat Allah, kau tak akan sanggup menghitungnya.” Tapi ada alasan lain yang utama menurut saya, yaitu kebutuhan primer umat Islam ternyata bukan fikih, tapi mengenal Alquran terlebih dahulu. Saat saya mengajar tafsir misalnya, maka Alquran bisa bicara apa saja tentang ilmu dalam Islam, mulai akhlak, akidah, hingga fikih. Masyarakat muslim yang kita temui di masjid-masjid, mushalla-mushalla, atau bahkan kajian di kantor-kantor lebih layak mendapatkan pencerahan Alquran, sumber primer buat kebutuhan primer mereka.
Saya merasa tertantang untuk membuat jamaah bisa mengusir kantuknya saat kajian agar mereka betul-betul seperti harapan Nabi shallallahu alaihi wasallam saat berkata “fa man akhadzahu akhadza bi hadzdzin waafir”. Maklum, masyarakat kita kebanyakan baru sampai tahap jiping dalam belajar makanya suka ngantuk. Jadi, ngantuk adalah tahapan ketiga alias jidur, ngaji tidur, setelah tahapan kedua yaitu jider alias ngaji nyender.
Dan tahap puncaknya adalah jiler alias ngaji ngiler. Itulah tantangannya. Maka solusinya adalah bagaimana menyampaikan ayat-ayat Alquran dengan cara menjelaskan mukjizatnya supaya jamaah tahu bahwa mereka dikarunia kitab mukjizat yang berbicara tentang akidah, hukum, akhlak, sejarah, bahasa, dan ilmu pengetahuan alam. Cara paling sederhana adalah menggali harta karun yang tersimpan pada setiap kalamullah. Mereka harus diyakinkan bahwa Alquran itu penuh dengan ilmu, “Demi Alquran yang penuh hikmah”, begitu Allah bersumpah dalam surat Yasin ayat dua.
Jangankan jamaah yang tidak mengerti Bahasa Arab, kadang yang mengerti Bahasa Arab saja belum tentu mampu menghadirkan mukjizat Alquran yang kata Syaikh Wahbah dalam mukadimah tafsirnya ada 2; “Uslub” dan “Ma’na”. Mukjizat Uslub Alquran terlihat ciri khasnya pada 4 hal:
- Keteraturan susunan kata yang sempurna yang mengalahkan semua bagian-bagian sastra Arabnya orang Arab.
- Ketinggian tak terhingga dari segi keindahan kata-katanya
- Keserasian bunyi-bunyi hurufnya saat tersusun menjadi kalimat.
- Kesesuaian lafal dan makna, termasuk kesesuaian antara ungkapan kata atau kalimatnya dengan apa yang dimaksud.
Sedang Mukjizat Ma’na terlihat ciri khasnya juga pada 4 hal:
- Kecocokan antara akal, logika, ilmu, dan rasa.
- Kekuatan hujjahnya.
- Kredibilitas yang kuat dengan kejadian-kejadian sejarah dan tidak adanya kontradiksi dalam pemaparan sejarah yang panjang maupun berulang.
- Kesesuaian makna-maknanya terhadap penemuan-penemuan di bidang ilmu dan sains.
Belum lagi saat bicara kisah-kisah dalam Alquran yang mencapai seribu ayat, perintah seribu ayat, larangan seribu ayat, ancaman seribu ayat, perumpaan seribu ayat, halal dan haram lima ratus ayat, doa seratus ayat, dan nasakh mansukh 6 ayat. Cuma sampai dsini saya bertanya-tanya kenapa Syaikh Wahbah tidak menyebutkan seribu ayat lagi bicara tentang apa? Sebab menurut pendapat ulama selain aliran Kufiyyiin, jumlah ayat Alquran ada 6666 ayat.
Singkat cerita, saya sedang pindah ke lain hati, dari fikih yang super ribet tapi asik menghanyutkan karena termasuk ilmu yang sangat keren kepada tafsir yang tak mungkin saya sifatkan dengan kata-kata. Cukuplah saya sampaikan sedikit dari yang sedikit saya punya yaitu hikmah dari balasan ahli surga di surat Yasin ayat 55, yaitu kenapa Allah Ar Rahman memberi balasan kepada mereka dengan balasan kesibukan, “Syughul”?
Ya, kesibukan, Sodara!
Allah balaskan orang-orang yang sewaktu di dunia sibuk dengan urusan agamanya dengan kesibukan di surga! Sibuk dengan bidadari-bidadari perawannya! Sibuk dengan buah-buahan surganya! Sibuk menikmati semua kenikmatan surga! Siapa sibuk di dunia dengan urusan agamanya maka ia akan sibuk di surga!
Sebagaimana orang-orang yang menyepelekan urusan agamanya saat di dunia maka mereka pun disepelekan oleh Allah Al ‘Aziz dengan kata-kata, “wamtaazul-yauma ayyuhal-mujrimuun!” menyingkirlah kalian semua wahai para pendosa!!!
Baru bisa lagi nulis panjang mumpung bidadari tak ada di rumah, jadi nggak ada kesibukan.
0 Response to "Pindah Ke Lain Hati...#Seri Pembelajar"
Posting Komentar